Panggung Jawab

Nico
5 min readSep 29, 2020

“Tak ada yang lebih otoritatif selain menteri untuk membahasakan kebijakan-kebijakan itu kepada publik, termasuk soal penanganan pandemi,” — Najwa Shihab

(dikutip dari: https://nasional.kompas.com/read/2020/09/29/09092751/ini-alasan-najwa-shihab-ingin-undang-menkes-terawan-ke-mata-najwa)

Artikel ini adalah tulisan yang pertama kali terbaca ketika bangun pagi ini. Nampaknya saya terlewatkan hype semalam sebelumnya saat acara Mata Najwa di Narasi TV menampilkan pembawa acara, Mbak Najwa, sedang mewawancarai satu kursi kosong yang konon seharusnya diduduki oleh Pak Terawan, sang Menteri Kesehatan.

Pagi tadi, saya tidak tertarik mencari tau soal wawancara kursi kosong ini karena memang pada dasarnya saya tidak pernah tertarik dengan cara Mbak Najwa meng-”interogasi” para narasumbernya.
Namun sore hari saat membuka twitter, saya menemukan masih banyak yang tetap bersemangat memberikan komentar dan bermain meme atas acara tersebut. Maka saya pun ke Youtube untuk mencari tahu rekaman ulangnya dan sampailah pada video ini: https://www.youtube.com/watch?v=QQ9oYqowqO4

Video tersebut mungkin hanya potongan singkat dari keseluruhan acaranya, namun karena dipost oleh account youtube resmi Mata Najwa, saya berkesimpulan bahwa ini adalah bagian penting untuk menggambarkan topik utama dari acara tersebut. Jika salah, mohon koreksinya.

Saya tidak pernah suka Pak Terawan. Dari awal, hampir semua langkah yang dia ambil, salah (menurut saya). Gaya komunikasinya, aneh. Padahal posisi yang ia pegang adalah salah satu posisi paling penting yang seharusnya memegang kendali pada saat bangsa ini menghadapi pandemi. Terlepas dari apa maksud di baliknya, kemungkinan besar Beliau ini memang tidak kompeten di pekerjaannya. (Baru mungkin ya, tolong jangan somasi saya Pak.)
Jadi wajar jika awalnya di pikiran saya: siapapun, termasuk Wartawan (seharusnya) bisa lebih baik daripada Terawan.

Melalui potongan video di atas, Mbak Najwa menunjukkan bahwa saya salah.

Mari kita berandai-andai jika saja Pak Terawan hadir memenuhi undangan tampil di Mata Najwa. Sejauh analisa saya, responnya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sama, hanya akan ada 4 kemungkinan:

  1. Defensif. Dia akan memunculkan fakta/data yang dimilikinya, sekuat tenaga melawan tudingan Mbak Najwa (yang konon mewakili masyarakat menyatakan) bahwa dia nggak bisa kerja. Apakah ada kemungkinan ia akan menuding pihak lain yang menyebabkan korban Covid-19 tumbuh pesat seperti sekarang? Tentunya. Intinya, bagi Pak Terawan, Kemenkes sudah kerja dengan “benar” dan sesuai protokol (kalo udah eneg denger kata ini, sama).
    Lalu apa respon masyarakat?
    Tentu mencemooh, yang punya data akan protes, yang sudah kehilangan orang-orang terdekat akan teriak. Sama nggak kayak sekarang? Sama.
  2. Cengengesan. Ini karakter khas Pak Terawan sejak awal. Kalo dia tetap in-character, apa pun alasannya, beliau akan menjawab sekenanya, sengasalnya, tentu disertai dengan cengiran yang jauh lebih berperan untuk bikin orang kesal daripada kata-katanya sendiri.
    Lalu apa respon masyarakat?
    Tentu mencemooh, yang pakar meme langsung bikin meme, stiker, kaos, pin, facebook page, game (mungkin), yang sudah kehilangan orang-orang terdekat akan teriak. Sama nggak kayak sekarang? Sama.
  3. Diam. Dalam beberapa bulan terakhir, kita tidak melihat Pak Terawan serame di awal pandemi. Bisa jadi bagi pemerintah pusat, ini karakter paling aman yang diberikan untuk Beliau jalankan saat ini. Daripada blunder, Beliau bisa mengarahkan jawaban atas pertanyaan dengan: “Ya masukannya kami terima, dan akan sekuat tenaga kami usahakan. Kita juga berharap masyarakat tetap patuh pada protokol kesehatan, bla bla bla bla”. Disertai jawaban-jawaban klise ala pejabat pada umumnya.
    Lalu apa respon masyarakat?
    Tentu mencemooh, yang merasa dia tidak kompeten jadi makin yakin, yang teriak-teriak minta dia dicopot, makin banyak. Sama nggak kayak sekarang? Sama.
  4. Minta Maaf. Meskipun kemungkinannya mungkin hanya 0,00001%, tapi apakah kemungkinan ini ada? Mungkin. Akan sangat out-of-character bagi seseorang dari background Militer di Indonesia untuk minta maaf di depan publik, tapi bayangkan jika arena yang tadinya dipersiapkan untuk jadi arena roasting, malah dengan PR yang bagus, berbalik menjadi panggung untuk menjawab semua pertanyaan dan keraguan dengan lugas.
    “Saya minta maaf bagi semua korban, semua dokter yang juga telah berkorban dalam menjalankan tugasnya yang kita semua tau jauh lebih kompeten dari saya, seorang Menteri Kesehatan, yang dengan semua keterbatasan saat ini, tidak mampu memberikan apresiasi yang pantas atas semua itu. Saya sudah siap untuk mundur, namun izinkan saya untuk membayar semua kekurangan sebelumnya akibat pandemi ini dengan sekuat tenaga dan dalam waktu yang masih tersisa.” Lalu dengan gamblang menjelaskan langkah-langkah cerdas di luar dugaan kita semua.
    Apa respon kita?
    Bingung, itu yang pertama. Sebenci-bencinya kita terhadap tindakan salah yang sudah ia ambil selama 6 bulan ke belakang, pasti akan ada pihak yang mengapresiasi tindakan itu. Dan ini akan jadi amunisi kuat bagi buzzer pemerintah untuk mengangkat pamor sang Menkes. Narasi yang akan dibawa “Selama ini Menkes sebenarnya kerja keras, kalian aja yang gak tau.”

Saya cukup yakin, sebagai pewarta senior, Mbak Najwa sudah siap dengan kemungkinan-kemungkinan di atas. Dan karena berada di posisi tersebut, ia juga sudah tau bahwa kalimat yang diucapkannya di awal acara — dan saya tuliskan di awal artikel ini — bukanlah alasan utama mengapa mereka mengundang Pak Terawan untuk menjadi narasumber.
Bukan karena masyarakat butuh jawaban, tapi lebih karena masyarakat butuh hiburan.

Mbak Najwa sudah tau,
Anda sudah tau,
Kita sudah tau,
Bahwa di mata masyarakat, Kementerian Kesehatan adalah salah satu yang masuk dalam kategori Gagal untuk menangani pandemi maupun dalam menjamin kesehatan para dokter yang jelas-jelas merupakan instrumen paling penting di garda terdepan. Jika ada yang bisa memberikan jawaban mengenai penanganan secara tepat, saya sama sekali tidak yakin Pak Terawan lah orangnya.
Jadi akui saja, keberadaan Pak Terawan di Panggung Mata Najwa adalah hanya untuk melengkapi narasi di kepala kita yang sudah terbentuk berbulan-bulan sebelumnya. Mungkin cukup seru, tapi sebenarnya sudah tidak perlu.

Kita sering mendengar ungkapan, “Stop making stupid people famous.” tapi justru terus-terusan mengakomodir panggung bagi mereka. Ada kok orang-orang yang lebih pantas untuk didengarkan daripada Pak Terawan. Tapi mungkin orang-orang itu tidak cukup pantas untuk ‘disilet’ oleh Mbak Najwa Shihab yang dikenal karena kata-katanya yang tajam. Atau mungkin menurut tim di belakang layar Narasi TV, tidak cukup menjual jika dibandingkan sebuah kursi kosong.

Yang mengkhawatirkan dalam hobi kita memberikan panggung bagi orang-orang yang tidak kompeten sebenarnya bukan apakah itu membuat mereka jadi lebih terkenal. Mereka ingin terkenal, ya tidak apa-apa. Tapi seperti yang saya tuliskan di poin nomor 4 di atas, bagaimana jika mereka justru memanfaatkan panggung tersebut untuk meraih simpati yang seharusnya belum patut mereka dapatkan sebelum mereka menyelesaikan ketidak-kompetenannya?

Kenapa sih, kita harus memberikan panggung untuk mereka yang belum selesai bertanggung jawab?

Kenapa tidak nanti saja setelah mereka benar-benar melakukan tugasnya dengan baik, baru kita apresiasi pakai otak dan empati? Atau jika gagal, kita maki dengan sepenuh hati.

Pak Terawan, saya tidak kenal Bapak secara pribadi, tapi Bapak masih punya tanggung jawab besar untuk menyelamatkan kami semua yang saat ini masih berjuang untuk selamat dari pandemi. Bapak adalah salah satu orang yang paling bertanggungjawab atas hilangnya ribuan nyawa pasien dan ratusan nyawa dokter akibat Covid-19 di Indonesia hingga saat ini. Saya yakin di atas sana memang banyak kepentingan, tapi ini soal nyawa Pak. Pertimbangkan baik-baik mana yang lebih penting.

Mbak Najwa, Mbak pasti tidak kenal saya. Tapi mudah-mudahan ke depan tidak perlu ada lagi ‘kursi kosong’ lainnya, terutama ketika masih ada banyak pihak yang bisa dibawa ke panggung untuk menyuarakan keselamatan, daripada sebagai bahan bulan-bulanan.

Selamat berjuang untuk kita semua.

-N-

--

--

Nico

The Weapon of Mass Distraction | Virtual Reality | Digital Contents