Why Audience Have to Move?

Nico
5 min readSep 10, 2015

Tadi pagi ada sharing menarik di twitter tentang #AcaraTV yang dibuka oleh Kak Dennis Adhiswara. Kira-kira isinya begini:

Sejauh ini saya setuju dengan sharing di atas. Namun tweet ini…

… membuat saya sedikit tergelitik untuk menimpali dengan:

Faktanya:

YA. Online audience, baik lokal maupun internasional, masih kalah jauh jika dibandingkan dengan TV audience.

YA. Konten acara televisi di Indonesia sudah sangat homogen, hampir tidak ada bedanya antara stasiun TV yang satu dengan yang lainnya. Sehingga bisa dibilang, daya saing diferensiatif antar stasiun hampir tidak ada, karena memperebutkan kue audience yang sama.

Yang mencoba bermain di target audience yang berbeda memang ada, namun secara kuantitas, audience-nya tentu jauh dari signifikan.

Tapi saya tidak setuju jika TV audience serta merta dikonversikan menjadi Online audience. Setidaknya tidak untuk saat ini. Berikut alasan-alasannya:

  1. Adaptasi butuh waktu. Apakah kita yakin dengan mengubah TV audience menjadi Online audience, mereka akan mendapatkan kemudahan dan keyamanan yang sama? Oke, online content mungkin bisa diakses di mana saja dan kapan saja selama ada koneksi internet, namun apakah itu yang mereka butuhkan? Berapa banyak sih yang memang akan mengakses content secara “kapan saja di mana saja” dari total ratusan juta penonton televisi?
    Coba bandingkan dengan jumlah orang yang memilih duduk nyaman menonton televisi setelah selesai bekerja atau sedang beristirahat. Regardless the content.
  2. Infrastruktur. Kita semua pasti sudah paham betapa traumatis-nya pengalaman menggunakan ISP lokal bukan? Anda dan saya, kita semua adalah survivor. Meskipun hingga saat ini saya masih selalu was-was jika streaming video online, takut akan ada satu titik dimana video akan buffering atau stop sama sekali.
    Trauma juga dihasilkan dari segi harga . Rata-rata 1 GB data masih dihargai Rp 30.000–50.000 di Indonesia. Itu pun, belum tentu bisa berfungsi di daerah-daerah yang terpelosok. Sementara akses televisi? Hampir semua daerah di pelosok Indonesia sudah bisa menikmati.
  3. Kesiapan Local online content creator. Apa iya, content creator lokal sudah sedemikian banyak dan konsistennya sehingga audience TV perlu pindah? Sejauh ini target online content Indonesia masih berputar di audience yang kurang lebih sama kok. Millenials atau ABG, dengan SES middle class, karena konon mereka inilah pelahap utama konten-konten di social media. Sisanya ke mana? Ya jadi audience konten-konten online luar negeri.
    Bukan masalah cinta karya anak bangsa, tapi coba jangan berpikir “Ya kalo online audience nya nanti udah gede, kan tinggal disesuaikan aja kontennya sama kemauan mereka.” Karena jika demikian, apa bedanya sama TV yang sekarang industrinya hampir deadlock?
    Online audience, berbeda dengan TV audience, punya kemampuan menyusun konten-konten yang lebih personal dan cocok bagi dirinya sendiri. Nah sekarang bayangkan saat TV audience yang sudah ter-convert menjadi online audience melihat konten-konten lokal yang ada, ternyata hampir sama homogennya seperti TV. Opsi mereka adalah antara kembali lagi ke TV, atau menjadi konsumen konten online luar negeri. Pretty much ya kayak sekarang.
    Ujung-ujungnya, industri online content lokal, kalo nggak siap, ya akan tetap segitu-segitu aja.
  4. Dengan posisi audience yang tersegmentasi seperti sekarang, jika saya berpikir dari segi brand, justru baik adanya. Mengapa? Karena saya jadi lebih mudah menyesuaikan konten untuk target audience di platform yang berbeda-beda. Untuk TV, segmentasinya C-D. Untuk online: B-C. Dan pengguna TV Cable: A-B-C.
    Jika para audience ini saling menyeberang, meskipun secara kuantitas akan lebih besar, namun segmentasinya akan melebur dan lebih sulit menemukan niche audience yang sesuai. Iya sih, pastinya ke depan akan ada solusi agar brand tetap punya kemampuan memilah-milih audience yang tepat setelah peleburan. Tapi untuk saat ini? Online content brand aja masih banyak yang sekadar uploading TVC doang kok. :D
  5. Soal selera. Bagi saya, memang ngilu jika melihat tontonan di TV yang hanya berisi sekitar kehidupan artis, sinetron yang surreal, atau gameshow/comedy show yang main umpat-umpatan dan hipnotis. Tapi jika itu adalah sesuatu yang memang dinikmati oleh teman saya, atau orang-orang terdekat, saya tidak akan mengatakan bahwa itu adalah pilihan yang salah.
    Karena ketidaksukaan saya atas sesuatu bukanlah legitimasi untuk mengatakan bahwa sesuatu itu tidak benar. Pun sebaliknya, tidak ada satu hal pun yang saya sukai dan harus disukai oleh orang lain juga. Content is personal.
    Mengapa harus sedih? Tidak semua orang mampu membangun argumen untuk menjelaskan apa yang mereka suka ataupun tidak kan? Di Korea Selatan, salah satu acara TV yang paling laku juga berisi tingkah bodoh-bodohan antar selebritinya tuh, dan Korsel adalah salah satu negara yang paling maju soal Showbiz. Jepang apalagi, absurd banget kalo bikin acara TV. US punya show khusus membahas kehidupan sehari-hari salah satu selebritinya.

Jadi nulis panjang-panjang begini kesimpulannya apa?

  1. Buat online content creator, jangan takut nggak punya audience dengan bikin konten yang nggak mainstream. Tapi takutlah, jika demi audience Anda sampai terpaksa bikin konten yang itu-itu doang padahal Anda sendiri gak suka. That’s how TV is now having a slow and painful death.
  2. Buat TV content creator, pasti butuh resource tidak sedikit dan risky untuk mencoba mengadaptasi online content ke TV, atau pun sebaliknya. Jadi untuk sekarang lupakan deh nyebrang-nyebrang ke dunia online atau digital kalo cuma setengah-setengah. Fokus dulu ke peningkatan kualitas konten yang Anda buat untuk TV. Mentalitas gampang puas dengan “Ah segini juga cukup kok, audience kan cuma segitu doang kelasnya” dibuang dulu jauh-jauh.
  3. Klasik. Negara kita luas, penduduknya lebih dari 250 juta, mau semuanya puas dengan hanya 10 stasiun televisi? Nggak mungkin kan? Makanya ada medium online, di mana kita bisa personalisasi konten-konten apa aja yang kita mau dan butuh. Ya gak berarti TV salah juga kan? Pun TV punya konten-konten yang cocok sama kita, yakin masih punya waktu buat nonton?
  4. Buat Brands, kalo kita sama-sama mau industri visual content, baik di TV ataupun Online, berkembang dengan pesat, you need to start acting as partners, instead of clients for content creators. Gak bisa dipungkiri, memproduksi konten audiovisual itu butuh dana, dan dana itu paling banyak berada di tangan kalian. Maka jika konten yang kalian minta adalah sesuatu yang obsolete karena terlalu biasa, atau sebaliknya, terlalu-jualan, maka seperti itulah nantinya industri ini akan terbentuk.
    Trust us, the creators. Jangan mau sesuatu yang instan-instan aja, aim for the long run. Tips: Lebih baik memproduksi series of videos, daripada hanya satu dan bergantung pada promoted advertisement.

Untuk penutup, kira-kira beginilah kondisi saat ini:

Anda happy, karena bisa menemukan konten yang Anda sukai di Youtube,

Teman Anda happy, karena menemukan konten yang ia sukai di TV,

Youtube happy, karena ia diakses oleh Anda,

TV happy, karena ditonton oleh teman Anda,

Content creator happy, karena konten mereka ditonton oleh Anda atau teman Anda,

Brand happy, karena mereka tau kemana harus mencari Anda dan teman Anda,

Lalu, masalahnya di mana?

~N

--

--

Nico

The Weapon of Mass Distraction | Virtual Reality | Digital Contents